Kemampuan Bangsa Indonesia dalam Mengembangkan Teknologi
Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada
hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
membangun peradaban bangsa. Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi
yaitu Tekno-Ekonomi (Techno-Economy Paradigm), teknologi menjadi faktor yang
memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa.
Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses transisi perekonomian dunia
yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi
perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy/KBE) Pada KBE,
kekuatan bangsa diukur dari kemampuaniptek sebagai faktor primer ekonomi
menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.
Pembangunan iptek merupakan sumber terbentuknya
iklim inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumberdaya
manusia (SDM), yang pada gilirannya dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya
saing ekonomi. Selain itu iptek menentukan tingkat efektivitas dan efisiensiproses
transformasi sumberdaya menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan
demikian peningkatan kemampuan iptek sangat diperlukan untuk meningkatkan
standar kehidupan bangsa dan negara, serta kemandirian dan daya saing bangsa
Indonesia di mata dunia.
Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang
menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan
pengguna. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek,
antara lain institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasilpengembangan iptek
menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi.
Disamping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem
komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri, yang antara lain
berakibat pada minimnya keberadaan industri kecil menengah berbasis teknologi.
Lemahnya sinergi kebijakan iptek, sehingga kegiatan
iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang
pendidikan, industri, dan iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan
kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem
transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri.
Disamping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan
kemampuan iptek.
Masih terbatasnya sumber daya iptek, yang tercermin
dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio
tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000
penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasioanggaran
iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen
menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun
2001) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2000). Sementara itu menurut
rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2persen.
Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya
biaya untuk operasi dan pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti. Lemahnya
sumber daya iptekdiperparah oleh tidak adanya lembaga keuangan modal ventura
dan start-up capital yang diperlukan untuk sumber pembiayaan inovasi-inovasi
baru.
http://www.batan.go.id/ref_utama/rpjm_bab_22.pdf
Comments
Post a Comment